My Ping in TotalPing.com

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ ٬ اسَّلآمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

AHLAN WA SAHLAN

Selamat berkunjung; Selamat mengikuti dakwah guna meningkatkan aqidah dan syariah sebagai penambah bekal Pulang ke Kampung Akhirat. Mulai diluncurkan 18 Pebruari 2011, Insya Allah, diposting sampai menjelang akhir hayat.

وَسَّلَا مُ عَلَيكُمْ وَرَهْمَةُ اللهِ وَبَرَ كَا تُهُ

Salam Hormatku dan Keluarga

situs aqidah syariah ini : http://aslam3.blogspot.com klik situs fiqh sunah : http://aslam5.blogspot.com

Monday 14 March 2011

009. BERTEMU DIA


Bertemu dengan Dia, merupakan akidah yang harus dipaterikan kuat dalam keimanan, apapun resiko yang akan menimpa

Angin malam mendesau mengiring para taklim bersiap mengikuti tausiah; lalu Bahjedun membuka tausiah dan ucapan salam; para taklim menjawab salam dengan ucapan lirih. “Para jemaah taklim yang Insya Allah selalu ditambahkan karunia Nya”; begitu Bahjedun memulai tausiahnya; “Pada tausiah yang lalu, sudah kita bahas, Allah س; adalah Dzat yang wujud; dan melukiskan diri Nya secara metaforis”; berhenti sebentar, terlihat seorang taklim bertanya, “Pak Ustadaz, pada tausiah yang lalu, Allah س memfirmankan penyebutan keberadaan Nya secara metaforis?; apakah penyebutan seperti ini tidak mengelirukan umat sehingga dapat memunculkan pandangan, bahwa Dia memiliki wujud kejisiman seperti halnya manusia; punya tangan, punya wajah, punya mata, punya kursi?”.
Bahjedun mengemukakan, “Dalam penyampaian sesuatu pesan, kadang-kadang diperlukan penggunaan bahasa yang mudah dimengerti bagi si penerima pesan, yaitu umat manusia. Semisal kita mengatakan, banyak areal persawahan di desa berada dalam genggaman orang kota; tentunya si orang kota itu tidak memiliki telapak tangan yang amat sangat besar sehingga mampu menggemggam areal persawahan. Melainkan untuk memetaforsakan, betapa besar kekuasaan orang kota, sehingga mampu menguasai sebagian besar persawahan. Pemetaforsaan yang difirmankan, adalah untuk memberi pemahaman kepada umat manusia, bahwa Dzat Allah س itu ada dan memiliki wujud, tetapi mahkluk Nya tak mampu melihat dan diluar kemampuan daya pikir dan daya nalar makhluk Nya”; terlihat para taklim mengangguk tanda mengerti, tetapi ada taklim yang bertanya, “Pak Ustadz; kalau memang Dzat Allah س itu Dzahir dan Bathin, bagaimana kita bisa bertemu?”; terdengar suara sedikit riuh mendengar pertanyaan ini.
Lalu Bahjedun menjelaskan, “Setiap makhluk Nya, dipastikan kembali kepada Nya dan bertemu dengan Dia; hal ini berulang-kali difirmankan dalam Al Quran; misalnya dalam QS Al Inshiqaq (84):6 terdapat firman Nya,
يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحاً فَمُلَاقِيهِ ﴿٦﴾
Dalam ayat ini ditegaskan, Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui Nya. Dari ayat ini, kita memperoleh kepastian kembali kepada Nya dan bertemu dengan Dia, membawa bekal yang dihimpun selama di dunia, yaitu beribadah secara ubudiah dan muamalah; hal seperti ini juga dapat dicermati dalam QS Hud (11):29, berisi firman Nya,
وَيَا قَوْمِ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالاً إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللّهِ وَمَا أَنَاْ بِطَارِدِ الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّهُم مُّلاَقُو رَبِّهِمْ وَلَـكِنِّيَ أَرَاكُمْ قَوْماً تَجْهَلُونَ ﴿٢٩﴾
Dalam ayat ini antara lain ditegaskan, …. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya (Allah), akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui". Dengan bertumpu contoh beberapa ayat tadi, dipastikan setiap manusia bertemu dengan Dzat Allah س; syarat untuk bisa bertemu, meninggal dulu lalu menunggu datangnya Hari Kiamat”; seusai menjelaskan ini, terdengar sedikit gelak lirih diantara taklim, diselingi gurauan siapa mau duluan.
Suara gaduh terhenti, ketika Bahjedun meneruskan, “Berdasar ayat-ayat tadi, sudah dipastikan, Allah س adalah Dzat yang ada; dan karena itu, dipastikan Dia Wujud, dan setiap makhluk dipastikan bertemu dengan Nya”; berhenti sebentar; lalu diteruskan, “Keyakinan akan bertemu Allah س harus dipateri kuat sebagai akidah yang sangat mendasar; marilah mencermati firman Nya dalam QS Asy Syu`ara (26):50,
قَالُوا لَا ضَيْرَ إِنَّا إِلَى رَبِّنَا مُنقَلِبُونَ ﴿٥٠﴾ إِنَّا نَطْمَعُ أَن يَغْفِرَ لَنَا رَبُّنَا خَطَايَانَا أَن كُنَّا أَوَّلَ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٥١﴾
Ayat ini menegaskan, (50) Mereka berkata: "Tidak ada kemudharatan (bagi kami); sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami, (51) sesungguhnya kami amat menginginkan bahwa Tuhan kami akan mengampuni kesalahan kami, karena kami adalah orang-orang yang pertama-tama beriman". Ayat ini diwahyukan kepada Nabi Musa ع, mengisahkan, betapa besar keyakinan penerima dakwah beliau untuk bertemu dengan Tuhannya sehingga memilih menjadi pengikut beliau meskipun Fir`aun (laknatullah) mengancam akan memotong tangan dan kaki mereka. Bisa juga dicermati dalam QS Al Baqarah (2):45-46 yang berisi firman Nya,
وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ ﴿٤٥﴾ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُوا رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴿٤٦﴾
Ayat ini menegaskan, (45) Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, (46) (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada Nya. Melalui ayat ini, ditegaskan, mereka yang yakin akan bertemu dengan Tuhannya, termasuk golongan khusyuk. Kemudian dalam QS Al Baqarah (2):155-156 difirmankan,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ﴿١٥٥﴾ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ ﴿١٥٦﴾
Makna ayat ini, (155) Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (156) (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji`un"; begitu berhenti bicara, terlihat ada yang ingin bertanya, setelah disilahkan, katanya, “Pak Ustadz, apakah jika kita bertemu dengan Dia, kita tidak takut?; mohon maaf, kalau saya berjalan di kegelapan malam sering ketakutan, katanya ada ini, ada itu, sebangsa makhluk ghaib, begitulah”; kembali terdengar sedikit riuah rendah dalam nada lirih diantara para taklim.
“Jemaah taklim yang Insya Allah selalu ditambahkan barokah Nya”; begitu Bahjedun memulai lagi tausiahnya; “Memang menjadi pertanyaan umum, apakah kita berani bertemu dengan Allah س, bila diingat Dia memiliki sifat yang semuanya Maha; Maha Pengasih, Maha Penyayang, tetapi juga Maha Pemberi Derita, Maha Pedih Siksanya, dan sebagainya. Ada baiknya, hal ini kita bahas dalam tausiah yang akan datang. Mengingat malam sudah semakin larut, marilah kita akhiri tausiah ini”; berkata begitu, Bahjedun lalu menutup tausiah dengan melafadzkan hamdalan dan salam; dari taklim terdengar jawaban lirih hampir bersamaan.

Friday 11 March 2011

008. ASMAUL KHUSNA


DIA memiliki 99 sifat yang disebut Asmaul Khusna (Nama-nama Yang Terbaik), semua nama Nya diawali dengan Maha

Bahjedun segera membuka tausiah diiringi ucapan salam, ketika para taklim sudah duduk melingkar; lalu terdengar lirih ucapan balasan salam dari para jemaah, hampir serentak. Di luar sana, angin malam berselaputkan dingin mendesau bebas, menerpa para taklim yang semakin mengencangkan kancing jaketnya.
“Jemaah taklim yang Insya Allah selalu ditambahkan nikmat Nya”; begitu Bahjedun membuka tausiahnya;” belum lagi berlanjut, terlihat seorang taklim mengacungkan tangannya; setelah diiyakan, ia bertanya, “Pak Ustadz, dalam tausiah yang lalu dijelaskan, pewiridan Asmaul Khusna tidak berdampak dalam kehidupan ekonomi; lalu apa kegunaan mempelajarinya?”; terlihat wajahnya tegang, serasa telah melakukan kesalahan dengan bertanya seperti itu.
Dengan suara penuh kebapakan, Bahjedun mengemukakan, “Tidak ada yang tiada guna dalam semua ajaran Islam; ini harus dipaterilan dalam iman. Mengenai Asmaul Khusna, marilah mencermati HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah عهم; mengisahkan, Rasulullah ص  bersabda: “Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Siapa saja yang menghafal nama-nama itu, tentulah masuk surga. Dia adalah tunggal (Esa), senang kepada yang tunggal/ganjil”. Selain itu, juga terdapat HR Bukhari ر; ia berkata, Rasulullah ص  bersabda: “Barang siapa menghitung Asmaul Khusna, tentu ia masuk surga”. Sedangkan dalam HR At Tarmidzi ر; ia mengisahkan, Rasulullah ص  bersabda: “Barang siapa menghitung Asmaul Khusna, tentu ia masuk surga. Dia lah Allah, tiada tuhan selain Dia”. Mendengar jawaban ini, si penanya terlihat semringah terkepas dari rasa bersalah dengan pertanyaannya, meski dipeluk dinginnya malam; lalu Bahjedun meneruskan, “Dengan demikian, mewiridkan Asmaul Khusna tidak perlu seribu kali; lafadzkan saja, masing-masing Nama Nya satu kali, Allah س telah menjamin surga baginya, jika tidak melakukan dosa besar yang tak terampunkan”. Nampaknya si penanya makin penasaran, lalu langsung mengacungkan tangannya, dan bertanya, “Pak Ustadz, berapa kali harus diriwidkan dalam sehari semalam?; dan berapa lama mengamalkannya?”; meski malam semakin melarutkan dinginnya, terlihat para taklim makin bersemangat; merekapun menunggu jawaban Bahjedun.
Bahjedun meneruskan tausiahnya, “Dalam kedua Hadis tadi dikisahkan sabda Rasulullah ص barangsiapa “menghitung”; maksudnya adalah barangsiapa menyebutnya atau mengucapkannya; bukan sekedar menghitung satu sampai sembilan puluh sembilan. Jika ditanya berapa lama mewiridkannya, tidak ada Hadis yang memberi tuntunan berapa kali mewiridkannya dalam sehari semalam, dan diwiridkan berapa lama. Tetapi ibarat kita beramal, ya sebanyak mampu saja; begitu juga ketika berwirid, ya sejauh mampu mewiridkannya; yang perlu diperhatikan, pewiridan ini tidak mengganggu keseharian. Jangan sampai ada petani yang enggan ke sawah ladang dengan alasan mewiridkan Asmaul Khusna; atau pedagang tidak ke pasar karena mewiridkannya; atau bolos sekolah karena berwirid Asmaul Khusna”; berhenti sejenak, ditatapnya para taklim.
“Para taklim yang Insya Allah selalu ditingkatkan derajatnya karena tak segan meneguhkan ilmu”; begitu Bajedun memulai kembali, lalu dikatakannya, “Kita sekarang sudah semakin mengenal sifat-sifat Allah س yang dirangkum menjadi Asmaul Khusna. Meski ada ulama mengemukakan sifat-sifat Nya lebih dari seribu, tetapi yang paling dipercaya adalah 99 nama; semua nama-nama itu tercantum dalam naskah tausiah, yang dapat diperoleh sesudah tausiah ini”.
Serasa sudah cukup waktunya, Bahjedun bergegas menutup tausiah, disertai ucapan hamdalah dan doa diakhiri ucapan salam; para taklim pun menjawab lirih, sesudah itu bersegera pulang berselimutkan dingin dengan membawa daftar Asmaul Khusna seperti berikut ini, semuanya tercantum dalam Al Quran, kecuali tiga nama Nya tercantum dalam Hadis.
الْأَسْمَاء الْحُسْنَى
01.الرَّحْمـنِ (Maha Penyayang); 02. الَّحِيمِ (Maha Pengasih); 03. الْمَلِكُ (Maha Merajai); 04. الْقُدُّوسِ (Maha Suci); 05. السَّلَامُ (Maha Sejahtera); 06. الْمُؤْمِنُ (Maha Terpercaya); 07. الْمُهَيْمِنُ (Maha Memelihara); 08. الْعَزِيزُ (Maha Perkasa); 09. الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ (Maha Memiliki Kebesaran dan Kemuliaan); 10. الْمُتَكَبِّرُ (Maha Memiliki Kebesaran); 11. الْمَانعُ (Maha Mencegah Hadis); 12. الخِافِضُ (Maha MerendahkanHadis); 13. الغَفُورٌ (Maha Pengampun); 14. الْقَهَّارُ (Maha Perkasa); 15. الْخَالْقُ (Maha Pencipta); 16. الْحَكِيمُ (Maha Bijaksana); 17. العَلِيمٌ (Maha Mengetahui); 18.  القْابِضُ  (Maha Mengendali); 19. البْاسطُ (Maha Melapangkan); 20. الرَّزَّاقُ (Maha Pemberi Rizki); 21. الرَّافَعُ (Maha Meninggikan); 22. المُعِزُّ (Maha Terhormat); 23. المُذلُّ (Maha Menghinakan): 24. السَّمِيعُ (Maha Mendengar); 25. البَصِيرٌ (Maha Melihat); 26. الْمَتِينُ (Maha Kokoh); 27. الْعَدْلاً (Maha Adil); 28. اللَّطِيفُ (Maha Lembut); 29. الْخَبِيرُ (Maha Mengetahui); 30. الحَلِيمٌ (Maha Penyantun); 31. الْعَظِيمُ (Maha Agung); 32. العَلِيّاً (Maha Tinggi); 33. القاَدِيرٌ (Maha Menentukan); 34. الحَفِيظٌ (Maha Penjaga); 35. المُقِيت (Maha Pemelihara); 36. الْجَليلِ (Maha Luhur); 37. الْكَرِيمٌ (Maha Mulia); 38. الرَّقِيب (Maha Mengawasi); 39. الوَاسِعٌ (Maha Luas); 40. المُجِيبٌ (Maha Mengabulkan); 41. الْوَدُودُ (Maha Mengasihi); 42. مَالِكَ الْمُلْكِ  (Maha Memiliki Kerajaan); 43. الشَكُورٌ (Maha Penerima Syukur); 44. الحَسِيب (Maha Membuat Perhitungan); 45. الحَكَمَ (Maha Memutuskan Hukum); 46. البَاعثَ (Maha Membangkitkan); 47. الشَهِيدٌ (Maha Menyaksikan); 48. الْحَقُّ (Maha Benar); 49. الوَكِيلٌ (Maha Pemelihara); 50. القَوِيٌّ (Maha Kuat); 51. الْوَهَّابُ (Maha Pemberi); 52. الوَلِيّاً (Maha Melindungi); 53. الحَمِيد (Maha Terpuji); 54. أَلمحْص (Maha Menghitung); 55. الْمُبْدِئُ (Maha Memulai); 56. الْمعِيدُ (Maha Mengembalikan); 57. لَمُحْيِي ا (Maha Menghidupkan); 58. الُممِيتُ (Maha Mematikan); 59. الْحَيِّ (Maha Hidup); 60. الْقَيُّومُ (Maha Mandiri); 61. الْؤاجِدْ (Maha Menemukan); 62. أَلاحَدٌ (Maha Esa); 63. الْؤاجِدْ (Maha Tunggal); 64. الْكَبِيرُ (Maha Besar); 65. المُّقْتَدِرٍ (Maha Berkuasa); 66. الْمُقَدَّمْ (Maha Mendahulukan); 67. المؤَخِّرُ (Maha Mengakhirkan); 68. الْأَوَّلُ (Maha Awal); 69. الْآخِرُ (Maha Akhir); 70. الظَّاهِرُ (Maha Nyata); 71. الْبَاطِنُ (Maha Ghaib); 72. الوَالٍى (Maha Memerintah); 73. الْمُتَعَالِي (Maha Tinggi); 74. الْبَرُّ (Maha Dermawan); 75. التَوَّاب (Maha Penerima Taubat); 76. الْبَارِئُ (Maha Mengadakan dari Tiada); 77. الْوَهَّابُ (Maha Pemberi Karunia); 78. الْفَتَّاحُ (Maha Membuka Hati); 79. المُنتَقِمُ (Maha Penyiksa); 80. العَفُوّاً (Maha Pemaaf); 81. الرَؤُوفٌ (Maha Mengasihani); 82. الْمَجِيدُ (Maha Mulia); 83. الْجَبَّارُ (Maha Berkehendak); 84. الْمقِّسطِ (Maha Adil); 85. الْجْامعُ (Maha Pengumpul); 86. الغَنِيٌّ (Maha Kaya); 87. الْامُغْنَى (Maha Mencukupi); 88. الْمُصَوِّرُ (Maha Membuat Bentuk); 89. الضُرّ (Maha Pemberi Derita); 90. النَافْعً (Maha Pemberi Manfaat); 91. النُورُ (Maha Bercahaya); 92. الَهَادِى (Maha Pemberi Petunjuk); 93. البَدِيعُ (Maha Pencipta); 94. البْاقُى (Maha Kekal); 95. الْوَارِثُ (Maha Mewarisi); 96. الْرَشِيَد (Maha Pandai); 97. الصَبُوِّر (Maha SabarHadis); 98. الصَّمَدُ (Maha Dibutuhkan); dan 99. الحَكَمَ (Maha Memutuskan Hukum).

Tuesday 8 March 2011

007. SIFAT NYA

DIA mempunyai sifat yang melebihi sifat semua makhluk Nya, semua sebutan sifat Nya diawali dengan sifat Maha

Meski langit berhiaskan mendung, para taklim sudah duduk melingkar di serambi masjid; lalu Bahjedun menyatu, duduk bersila di deretan depan; lalu membuka tausiah diiringi ucapan salam; terdengar lirih ucapan balasan dari para jemaah, hampir serentak.
“Jemaah taklim yang Insya Allah selalu ditambahkan barokah Nya”; begitu Bahjedun membuka tausiahnya; “Pada tausiah yang lalu, sudah kita bahas, sesungguhnya Allah س; adalah Dzat Maha Esa tiada penyerupaan bagi Nya, tiada tandingan bagi Nya, tiada sekutu bagi Nya; Dia memiliki nama-nama yang mencerminkan sifat-sifat Nya, antara lain difirmankan dalam QS Al Isra’ (17):110,
قُلِ ادْعُواْ اللّهَ أَوِ ادْعُواْ الرَّحْمَـنَ أَيّاً مَّا تَدْعُواْ فَلَهُ الأَسْمَاء الْحُسْنَى وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً ﴿١١٠﴾
Makna ayat ini antara lain, Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar Rakhman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaul khusna (nama-nama yang terbaik) …dst ". Dalam ayat ini ditegaskan, sesungguhnya Dia, Allah س satu-satunya Dzat yang memiliki Nama-nama Terbaik; dalam keseharian, kita menyebut Asmaul Khusna sebagaimana dilafadzkan pada ayat tadi. Salah satu nama Nya disebut dalam ayat ini, adalah Ar Rakhman atau Yang Maha Penyayang”; Bahjedun melihat kesekeliling, seolah hendak menatap kecerahan wajah para taklim. Disela-sela hembusan angin dingin yang merasuk ke serambi masjid, terlihat seorang taklim mengacungkan tangannya; Bahjedun menatapnya, bukan penanya pada tausiah yang lalu; kemudian disilahkan.
“Pak Ustadz; dalam ayat tadi disebutkan,  Allah س memiliki sifat Maha Penyayang; tetapi dalam Al Quran juga banyak disebutkan, siksa Allah س sangat pedih. Apakah siksa pedih ini tidak bertentangan dengan sifat Maha Penyayang?”; begitu tanyanya. Bahjedun segera membuka buku catatannya, lalu dikatakan, “Dalam Asmaul Khusna, ada sifat Maha Penyayang (الرَّحِيمِ) dan Maha Pemaaf (العَفُوّاً); kedua sifat ini dapat saling menunjang. Artinya, karena Allah س bersifat Maha Penyayang maka Dia bisa memberi maaf kepada manusia yang meminta maaf. Tetapi Allah س juga memiliki sifat Maha Penyiksa (المُنتَقِمُ) dan Maha Pemberi Derita (الضُرّ); kedua sifat ini juga dapat dijadikan cerminan saling menunjang. Bila keempat sifat itu diperhadapkan  antara sifat Maha Penyayang ditambah Maha Pemaaf, dengan sifat Maha Penyiksa ditambah Maha Pemberi Derita, maka sesungguhnya Dia memiliki sifat Maha Adil. Kenapa terjadi seperti in?; sesungguhnya para Nabi/Rasul sejak Nabi Adam ع sampai dengan Nabi Muhammad Rasulullah ص sebagai Penutup Para Nabi/Rasul, memiliki tugas menyampaikan firman-firman Nya. Firman-firman Allah س kepada Nabi Muhammad Rasulullah ص dibukukan menjadi Al Quran; salah satu pokok isinya adalah adanya kewajiban dan larangan Nya agar selamat dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, disertai janji-janji Nya kepada manusia yang taat dan yang ingkar. Selain memedomani Al Quran, Nabi Muhammad Rasulullah ص memberi tuntunan untuk menjalani kehidupan sehari-hari, yang dibukukan menjadi Al Hadis. Kedua Kitab ini wajib dijadikan pedoman manusia dalam menjalani kehidupan duniawi sebagai bekal menempuh kehidupan kekal ukhrawi di kelak kemudian hari”; ketika Bahjedun berhenti, terlihat seorang ibu muda mengacungkan tangan; belum lagi disilahkan, ia langsung bertanya, “Pak Ustadz; saya pernah mendapat bimbingan dari Ustadz, untuk mewiridkan الرَّزَّاقُ; saya mewiridkannya seribu kali setiap malam Jumat. Katanya, ekonomi saya bisa terangkat jika mewiridkan; sekarang ini, saya tidak lakukan lagi, karena tetap kembang-kempis. Dari pada untuk mbayar Ustadz itu, mendingan untuk modal jualan, walau kecil-kecilan”; terdengar suara gumaman lirih diantara taklim; disana-sini terlihat taklim tersenyum geli, karena pertanyaan itu disampaikan dengan penuh emosi.
Dengan wajah sangat serius, Bahjedun menatap ibu muda itu, lalu dikatakannya, “Sifat itu termasuk salah satu dari Asmaul Khusna, yang artinya Maha Pemberi Rizki; artinya, kita harus meyakini, Dia saja Yang Maha Memberi Rizki; rizki bukan diberi oleh makam ini, makam itu, dewi ini, dewi itu, mbah ini mbah itu atau air cucian keris pusaka, yang dianggap memberi kemurahan rizki. Jika mewiridkan seperti itu, maka ada tiga kesalahan; pertama, tidak ditemukan satupun penegasan dalam Al Quran atau tuntunan Nabi Muhammad Rasulullah ص mewiridkan sesuatu lafadz dengan hitungan sampai seribu kali; dalam berbagai kesempatan, beliau berdoa dan berwirid dengan hitungan paling banyak seratus kali. Seperti pada tausiah yang lalu, telah dicontohkan, Nabi Muhammad Rasulullah ص beristighfar tiga kali sesudah shalat. Kesalahan kedua,  tidak ada hubungan antara mewiridkan sifat itu dengan pemberian rizki bagi yang mewiridkannya; jika ingin ditambahkan rizki, ya berdoa mohon ditambahkan rizki disertai ikhtiar. Sedangkan wirid dengan menyebut lafadz itu, ya menyebut saja sebagai satu pengakuan, bahwa Dia adalah Maha Pemberi Rizki; tetapi pewiridan itu tidak mengandung makna doa (doa artinya permintaan) untuk ditambahkan rizki. Lalu kesalahan ketiga, Penyebutan Asmaul Khusna bukan untuk doa, tetapi untuk memuji dan mengakui sifat-sifat Nya”; begitu Bahjedun menjelaskan; kekecewaam dan kekesalan membayang di wajah ibu itu; para taklimpun bergumam satu sama lain.
Sejam sudah berlalu; kemudian Bahjedun bergegas menutup tausiah malam ini, disertai ucapan hamdalah dan sedikit doa dan ucapan salam; para taklim pun menjawab lirih, sesudah itu bersegara bersiap pulang di kegelapan malam kelam.

Saturday 5 March 2011

006. METAFORIS

Dia memfirmankan Dzat Wujud Nya secara metaforis, misalnya Mata Tuhan, untuk melukiskan Dia Maha Melihat

Duyun-duyun warga  menuju ke  tempat tausiah, diiring rembulan yang lebih tebal dari segaris bulan sabit; seusai mereka siap mengikuti tausiah,  Bahjedun masuk dan bersila di deretan depan, lalu dilafadzkan pembukaan dan ucapan salam; para taklim menjawabnya.
“Para taklim yang Insya Allah selalu ditambahkan nikmat Nya”; begitu Bahjedun memulai tausiah; “Pada tausiah yang lalu, sudah kita bahas, Allah س adalah Dzat yang wujud; meski begitu wujud Nya tak terjangkau oleh nalar makhluk Nya; Dia Dzat yang memiliki wujud Yang Dzahir sekaligus memiliki wujud Yang Bathin”; berhenti sebentar karena salah seorang taklim bertanya, “Pak Ustadz, bagaimana memahami, Wujud Dzat Yang Dzahir dan Wujud Yang Bathin, terutama dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari?”. Atas pertanyaan ini, Bahjedun mengemukakan, “Marilah kita amati lampu yang menerangi tempat ini; tentunya semua taklim setuju, lampu itu bisa bersinar karena adanya listrik yang mengalirkan setrum. Menyala, adalah bukti adanya aliran setrum; lalu mari kita tanya kepada diri sendiri, siapa yang bisa melihat bagaimana bentuk setrum?’ tidak perlu menunggu jawaban, Bahjedun meneruskan, “Jadi, menyalanya lampu menjadi bukti adanya aliran setrum; begitu juga kalau kita menggunakan tèspèn; lampu tèspèn menyala jika kabel yang diperiksa, mengandung aliran setrum. Lalu mari kita kembali pada Dzat Nya; tidak bisa dibayangkan bagaimana wujud Nya; tetapi bisa dilihat bukti keberadaannya. Adanya bumi, langit, matahari, dsb, menjadi bukti keberadaan Nya, karena tidak mungkin terbentuknya benda-benda itu tanpa ada Penciptanya”; berhenti sejenak, lalu diteruskan, “Untuk membuktikan keberadaan Nya, harus melalui pengamatan atas hasil ciptaan Nya; sesungguhnya Dia adalah ada, dan Dia adalah Allah س. Kalau meyakini adanya setrum yang menghasilkan nyala lampu, maka menjadi keharusan bagi semua makhluk Nya untuk beriman, sesungguhnya adanya bumi, langit, matahari, bintang, gunung, dan masih banyak ciptaan lainnya, adalah hasil ciptaan Allah س. Dalam menjalani kehidupan duniawi, untuk meyakini keberadaan Allah س tidak harus melihat wujud Nya”; berhenti sejenak,.
Lalu dikatakan, “Untuk memasuki akal manusia, Allah س menggunakan istilah-istilah yang dikenal manusia; misalnya Kursi, Singgasana yang dalam bahasa Al Quran adalah Arsy; ini disebut sebagai bentuk penyebutan metaforis atau memberi bayangan akan keberadaan Nya; bukan dalam arti kejisiman atau wujud wadag, seperti kejisiman atau kewadan bentuk tubuh manusia dan makhluk lainnya. Pembayangan atas wujud atau penyebutan metaforis, banyak ditemukan dalam Al Quran; misalnya dalam QS Ali Imran (3):73, berisi firman Nya,
وَلاَ تُؤْمِنُواْ إِلاَّ لِمَن تَبِعَ دِينَكُمْ قُلْ إِنَّ الْهُدَى هُدَى اللّهِ أَن يُؤْتَى أَحَدٌ مِّثْلَ مَا أُوتِيتُمْ أَوْ يُحَآجُّوكُمْ عِندَ رَبِّكُمْ قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ﴿٧٣﴾
Makna ayat ini, antara lain, ….. Katakanlah: "Sesungguhnya karunia itu di Tangan Allah, …dst.  Yang dimaksud dengan Tangan dalam ayat ini, bukan seperti kejisiman tangan manusia, melainkan suatu metaforis untuk menunjukkan Dia saja yang Maha Memberi Karunia. Dalam kehidupan manusia, jika memberi menggunakan tangan, sehingga Allah س  memberi firman agar sesuai dengan cara berfikir manusia. Ayat yang berisi lafadz Tangan, juga terdapat QS Ali Imran (3):154, QS Al Fath (48):10, QS Al Hadid (57):29. Contoh penyebutan metaforis lainnya, dapat dicermati dalam QS Az Zumara (39):67, yang berisi firman Nya,
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعاً قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ ﴿٦٧﴾
Makna ayat ini, antara lain, …… padahal bumi seluruhnya dalam Genggaman Nya pada hari kiamat ….dst. Lafadz Genggaman dalam keseharian bisa dimaksudkan untuk memberi arti kekuasaan;  ayat ini memberi makna, segala yang terjadi di bumi pada Hari Kiamat semata-mata berada di bawah Kekuasaan Allah س. Bentuk metaforis lainnya, misalnya dalam QS Shad (38):63, yang berisi firman Nya,
أَتَّخَذْنَاهُمْ سِخْرِيّاً أَمْ زَاغَتْ عَنْهُمُ الْأَبْصَارُ ﴿٦٣﴾
Makna ayat ini, “Apakah Kami dahulu menjadikan mereka olok-olokan, ataukah karena Mata Kami tidak melihat mereka?"; penggunaan kata Mata, menunjukkan sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Maha Melihat. Lalu dalam QS Ar Rakhman (55):27, terdapat firman Nya,
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ ﴿٢٧﴾
Dalam ayat ini ditegaskan, Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan; maksud Wajah, adalah Wujud Dzat Allah س yang memiliki sifat Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Merencanakan, sekalipun manusia tidak mampu memikirkan Keberadaan Nya dan tidak mampu melihat Wajah Nya”; Bahjedun berhenti bicara, direguknya sedikit kopi yang terhidang.
Sesaat kemudian diteruskan, “Para taklim yang Insya Allah selalu mendapat tambahan rahmat Nya. Penyebutan metaforis dalam ayat-ayat tadi, tidak bermakna Allah س memiliki Tangan, memiliki Mata, memiliki Wajah, melainkan mengkiaskan betapa Dia adalah Dzat yang Wujud dan memiliki sifat-sifat”; berhenti bicara, dilihatnya jam tangannya; lalu katanya, “Para taklim yang Insya Allah selalu dimudahkan rizki Nya. Sampailah kita pada akhir tausiah, marilah kita berharap semoga pada tausiah yang akan datang, Allah س  tetap menambahkan karunia sehat badan sehat rohani sehingga kita selalu tergerak untuk menimba Ilmu Nya”. Lalu Bahjedun menutup tausiah malam ini, disertai ucapan hamdalah, doa dan diakhiri ucapan salam; para taklim pun menjawab hampir bersamaan, sesudah itu bersegera pulang diiring dengan pembicaraan mengenai isi tausiah yang baru saja dilaluinya.

Wednesday 2 March 2011

005. WUJUD NYA

Makhluk tidak mampu menalarkan Wujud Dzat Nya; dan tidak akan mampu melihat Wujud Nya; padahal Dia ada

Para taklim sudah duduk melingkar; Bahjedun bersila di deretan depan, menghadap lingkaran; lalu dilafadzkannya pembukaan tausiah; terdengar para taklim hampir serentak menjawab salam dengan ucapan lirih, setelah diucapkan salam;. “Jemaah taklim yang Insya Allah selalu ditambahkan nikmat Nya”; begitu Bahjedun memulai tausiahnya; “Dalam tausiah yang lalu, menyisakan satu pertanyaan, bagaimana Wujud Nya”; berhenti sebentar, lalu diteruskan, “Secara sistematis, Allah س  telah menegaskan siapa diri Nya, sebagaimana tercantum dalam QS Al Baqarah (2):255; terdapat firman Nya,
اللّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاء وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ ﴿٢٥٥﴾
Makna ayat ini, Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Meski ayat ini menegaskan Wujud Nya, tetapi tidak bisa dibayangkan, bagaimana Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk Nya). Kita bayangkan saja, mengurus manusia saja, jumlahnya sudah milyaran, belum lagi hewan dari kuman sampai gajah, belum lagi tetumbuhan yang tersebar di seluruh permukaan bumi dan kedalamannya serta di lautan dan benda-benda angkasa. Dalam ayat ini ditegaskan,  tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin Nya; ini bermakna semua syafaat (pertolongan) datangnya dari Dia saja, datangnya syafaat bukan dari pohon rindang, bukan dari laut yang dalam, bukan dari patung, bukan dari makam, bukan dari jin maupun iblis. Lalu dalam ayat ini difirmankan,  Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki Nya. Ayat ini menegaskan, manusia tidak mengetahui kedalaman dan keluasan ilmu Nya, dan Dia Maha Mengetahui yang dijahirkan (ditampakkan) oleh manusia dan segala yang disembunyikan, sekalipun tersembunyi di dalam hati nuraninya. Lalu difirmankan, Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. melalui ayat ini, Dia memberi penegasan, Kursi Nya atau Arsy, meliput seantero langit dan bumi dan segala sesuatu yang berada didalam dan diantara keduanya; Dia mampu memelihara dan mengendalikan semuanya. Makna Kursi dalam ayat ini adalah Kekuasaan terhadap semua makhluk Nya; ayat ini disebut ayat Kursi, artinya ayat yang meneguhkan betapa besar Kekuasaan Nya”; Bahjedun berhenti sejenak; sesudah melihat ke sekeliling, diteruskannya, “Wujud Nya patut diimani; keberadaan Nya dipastikan ada, sekalipun nalar makhluk Nya tak bisa menjangkau. Untuk meneguhkan keberimanan, seperti sudah kita bahas dalam tausiah yang lalu, marilah mencermati kembali QS Al Hadid (57):3; dalam ayat ini terdapat firman Nya,
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿٣﴾
Makna ayat ini, Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Dzahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Dalam ayat ini terdapat penegasan, semakin sulit makhluk membayangkan wujud Nya, karena tiada satupun yang mengawali sebelum keberadaan Nya, dan tiada yang paling akhir selain Dia. Sementara ini, yang kita ketahui, ada kelahiran sebagai awal dan ada kematian lalu ada akhirat sebagai akhir; sedangkan Dia tidak ada awal dan tiada akhir. Nalar manusia dan semua makhluk Nya, tidak ada yang bisa menjangkau Wujud Nya. Ada Dzat yang Maha Kekal dan terus menerus menerus mengurus makhluk Nya; padahal semua makhluk Nya mengalami awal (lahir|) dan akhir (mati) dan tidak mampu mengurus selama-lamanya. Kalau ada seorang bapak yang mengatakan bisa mengurus anak-anaknya, meski semata wayang, coba kalau sudah pikun, tidak bisa lagi mengurus; jangankan mengurus anak, mengurus perutnya saja tidak bisa. Misalnya, sudah makan tetapi karena pikun, ia bilang belum makan”; berhenti sejenak.
Lalu diteruskan, “Kalau kaum mukmin diminta mendefinisikan Wujud Nya, jawbannya, harus bertumpu setidaknya pada dua ayat tadi. Allah س  adalah Dzat Yang Tidak Mengantuk dan Tidak Tidur, Dzat Yang Memberi Syafaat. Dia juga menegaskan, Dzat Nya, adalah Yang Awal dan Yang Akhir, lalu Yang Dzahir dan Yang Bathin. Begtulah Wujud Nya”; berhenti, lalu dilihatnya jam di pergelangan tangannya. Setelah dirasa cukup tausiahnya, lalu dikatakan “Para taklim yang Insya Allah selalu mendapat tambahan rahmat Nya; sampailah kita pada akhir tausiah; marilah kita tutup dengan melafadzkan hamdalah”; lalu terdengar lirih para taklim berlantun; lalu Bahjedun mengucap salam, dan para taklim membalas lirih. Para taklim bersegera pulang menembus kegelapan malam yang diterpa dinginnya angin malam, di bawah payungan langit tak berbintang.